27 C
Semarang
Jumat, 8 Desember 2023

Khidmat Natal, Perkuat Toleransi, Bangun Persaudaraan dengan Warga dan Tokoh Masyarakat

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Masjid dan gereja ataupun tempat ibadah lain berdekatan merupakan salah satu potret bentuk toleransi di Indonesia. Dengan keberagamannya Indonesia dapat menyatukan berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda dengan Bhinneka Tunggal Ika.

Di Kelurahan Gisikdrono Semarang Barat, tepatnya di RW 13 ada masjid dan gereja berdiri berdekatan. Yakni GBI Jatisari dan Masjid Jami Al Iman, ada pula TPQ Al Iman di depan masjid yang biasanya digunakan untuk anak-anak mengaji serta belajar tentang nilai-nilai Pancasila. Meski ada perbedaan agama, bukan berarti masyarakat menjadi musuh. Warga di RW 13 justru hidup rukun dan damai dengan saling membantu.

“Untuk toleransinya, kami setiap Natal mengundang Pak RT, RW, dan lurah. Kami juga mengundang keamanan wilayah dari kelurahan dan wilayah setempat,” jelas Pendeta GBI Jatisari Indriyanto.

Saat ditemui Indriyanto mengaku toleransai warga di Gisikdrono ini sangat bagus. Meski berbeda agama. Ketika akan meminta izin mendirikan gereja, semua warga juga setuju. Tidak ada yang menolak. Sejak 12 tahun berdiri belum pernah sekalipun Indriyanto mempunyai konflik dengan masyarakat mengenai perbedaan agama.

“Kalau saya yang penting srawaung ya. Tokoh masyarakatnya didekati, jadi saya berhubungan baik dengan mereka. Jadi dirangkul bersama-sama,” katanya.

Setiap Lebaran, Indriyanto bersama umat Kristiani lainnya juga berkunjung ke rumah warga yang muslim. Begitupun sebaliknya. Sementara untuk Natal kali ini, keamanan wilayah yang bertugas menjaga parkir dan kawasan gereja juga tidak pernah merasa keberatan. Meskipun mereka bukan golongan dari umat Kristiani. Bahkan, pihaknya juga mengundang jemaat dari luar daerah untuk mempererat keakraban.

“Kalau di luar Covid-19, kami biasanya mengundang dari luar daerah seperti Tarupolo, daerah Sri Rejeki, dan sebagainya. Tujuannya untuk saling mengenal satu sama lain,” imbuhnya.

Ia menambahkan, sudah 27 tahun menjadi pendeta. Sebelumnya di Demak selama 15 tahun dan di GBI Jatisari selama 12 tahun. Pria kelahiran 1975 ini mengaku alasannya menjadi pendeta, karena panggilan hati.

“Sejak SMA saya ini seperti memiliki panggilan hati untuk melayani umat. Jadi setelah lulus, saya melanjutkan pendidikan Theologi sebagai bekal menjadi pendeta,” imbuhnya.

Pendeta asal Wonosobo ini mengaku selama menjadi seorang pendeta tidak ada masalah atau konflik perbedaan agama yang ia hadapi. Semuanya berjalan lancar dan selalu berdampingan. “Ya kembali harus dekat dengan tokoh masyarakat, ikut berkumpul, dan tidak membedakan satu sama lain,” pungkasnya.

Demikian juga dengan perayaan Natal di Gereja Kristen Jawa Tlogosari. Toleransi keberagaman sangat kuat. Bahkan ada banner ucapan selamat Natal dari umat Hindu. Ucapan itu di pasang di Pura Amerta Sari, lokasinya tepat di samping tempat ibadah umat Kristiani ini.

Bahkan fasilitas parkir di Sekolah Dasar Islam Supriyadi 02 dibuka untuk para jemaat gereja di RT 05 RW 18 Kelurahan Tlogosari Kulon ini. “Itu salah satu toleransi. Teman-teman kampung membantu lalu lintas. Mereka terbuka, membantu kami,” ujar Pendeta Anung Trirumantyo di sela mempersiapkan ibadah puji- pujian bersama umat Kristiani lainnya Sabtu (24/12).

Dilihat dari geografis, ada beberapa tempat ibadah yang terletak di satu RW yang berdampingan. Yakni Gereja Kristen Jawa Tlogosari, Pura Amerta Sari, dan Kapel Katolik Santa Theresia Avillia. Tak jauh dari lokasi itu, sekitar 50 meter juga terdapat Masjid. “Dilihat dari lokasi tempat ibadah yang berdekatan ini sudah menunjukkan kami menjunjung nilai toleransi yang tinggi. Kami bisa Pancasilais,” tuturnya.

Selama 20 tahun menjadi Pendeta di GKJ di Jalan Taman Udan Riris itu, tak sekalipun ia mendengar ada keributan atau konflik antarumat beragama. Semuanya kondusif dan saling menghormati satu sama lain. Hal itulah yang menjadikan kampung ini dinobatkan menjadi Kampung Pancasila. Nilai-nilai Pancasila seperti gotong royong, kerja bakti, dan musyawarah dijunjung tinggi. “Di sini majemuk. Kami saling menyumbang, apa yang gereja bisa bantu, ya membantu. Dilakukan bersama-sama, tidak ada sekat,” ucap dia.

Mengenai silaturahmi saat perayaan keagamaan, ia menyebut hal itu sudah menjadi tradisi bersama. Dengan sistem “open house”, baik Natalan, Lebaran, saling mengunjungi satu sama lain untuk memberi ucapan selamat serta mempererat silaturahmi. Begitupun ketika perayaan Nyepi umat Hindu, seluruh warga turut menghormati dengan tidak melakukan kegiatan.

“Begitupun saat lebaran, kami juga ikut memberikan THR untuk anak-anak, berkunjung ke rumah mereka karena lebaran sudah menjadi budaya bersama,” ungkapnya.

Pendeta Anung menambahkan, perayaan Natal tahun 2022 ini dengan tema “Pulanglah Mereka Melalui Jalan Lain”. Ia menjabarkan, makna di balik tema itu yakni selama menghadapi pandemi kemarin, membuka kesempatan dan peluang jalan lain untuk kesejahteraan bersama, yakni jalan yang dulu belum terpikirkan. Di kehidupan sehari-hari misalnya di bidang ekonomi terjadi diversifikasi usaha. “Dalam rangka kebersamaan tentu dicoba mencari peluang untuk memperat usaha bersama. Bisa diupayakan kegiatan yang bisa berdampak sosial baik untuk kemasyarakatan, bisa membantu ekonomi,” bebernya.

Pendeta Nataniel Fordatkosu S.Si.Teol melakukan kegiatan bersama dengan umat muslim di Cilosari Dalam, Kemijen, Semarang Timur. (Istimewa)

Ingatkan Masyarakat, Bijak dalam Bermedsos Demi Jaga Kerukunan

Toleransi beragam juga dirasakan warga Kintelan RW 3, Kelurahan Bendungan, Kecamatan Gajahmungkur. Gereja berdampingan dengan pura dan masjid sekaligus yang berjarak hanya 100 meter. Masyarakatnya pun hidup rukun dan harmonis.

Tempat ibadah itu ada di tengah kampung. Semua warga saling menjaga toleransi dan saling bergotong royong dan berbaur satu sama lain. Karena itulah, Kelurahan Bendungan meraih juara I sebagi Kampung Pancasila dari RADARSEMARANG.COM kerja bareng dengan Pemkot Semarang beberapa waktu lalu.

Abednego Juwarisman, Pendeta Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU)  di wilayah Kintelan RW 3, Abednego Juwarisman, bersyukur masyarakat di Kelurahan Bendungan hidup rukun dan harmonis.

Meski begitu, perayaan Natal tahun 2022 ini digelar lebih sederhana dan lebih banyak berbagi. Bahkan, kegiatan berbagi ini dilakukan sejak terjadinya pandemi Covid-19. “Gereja itu menjadi tanda petik lumbung. Lumbung untuk bagaimana caranya bisa tetap makan, ada beras, minyak, dan sembako lainnya,” katanya.

Sebagaimana tema Natal “Pulanglah ke Tanahmu Lewati Jalan Lain,” kata Pendeta Abed, seluruh masyarakat harus bersama berpikir kreatif, inovatif, dan mengembalikan tatanan kehidupan setelah terdampak Covid-19.

“Hubungan sosial yang renggang, maka agama menjadi perekat kembali. Gereja juga bersama-sama menekankan berteologi secara baru, berorganisasi secara baru. Bahkan mengembangkan ekonomi dengan secara baru. Mau tidak mau harus berubah. Makanya lewat jalan lain itu dengan cara yang baru,” bebernya.

Apalagi hidup di tengah masyarakat dengan berbagai lintas agama tidak mungkin hanya diupayakan oleh gereja. Tentu membutuhkan masyarakat penganut agama lain. “Kami mengimbau untuk bersama-sama menjaga kerukunan. Pekalah terhadap hati nurani. Kalau kita peka terhadap Tuhan kita, maka kita peka terhadap sekeliling kita. Maka toleransi menghargai, menolong itu menjadi keramahtamahan,” jelasnya.

Perayaan Natal ini, pihaknya mengundang aparat keamanan dan warga sekitar penganut agama lain. “Ketika ada agama lain melaksanakan hari raya, kami juga berkunjung. Dulu semua tokoh agama di Jateng kami undang ketika bulan puasa untuk, buka puasa disini,” kata pria kelahiran 23 Maret 1972, yang sudah menjadi pendeta sejak 1988.

Dalam Natal kali ini, pihaknya mengajak masyarakat dan jemaatnya untuk bijak menggunakan media sosial. Hal ini untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan antarumat beragama. Selain itu untuk keuntungan bangsa dan negara Indonesia.

“Bijaklah menggunakan medsos dengan baik. Fasilitas ini untuk membangun peradaban kehidupan, bukan untuk merusak peradaban kehidupan. Medsos adalah untuk menjadikan kita semakin bermartabat, bukan untuk menginjak martabat orang lain. Dan Natal tahun ini adalah untuk menaikkan martabat kehidupan bersama,” pungkasnya.

Demikian halnya dengan Pendeta Nataniel Fordatkosu S.Si.Teol. Pendeta Gereja Kristen Protestan Injili Indonesia (GKPII) yang akrab disapa Pendeta Nataniel ini sudah mengabdi sejak 1980 atau 42 tahun. Dia merasakan, toleransi umat beragama di Cilosari Dalam, Kemijen, Semarang Timur, sangat kuat. Bahkan, sudah sejak berdirinya GKPII pada 7 Desember 1969 oleh Pdt Drs Yordan Alexander Luturyali M.Si.

Sebelum ditugaskan di Semarang, Pendeta Nataniel sudah memimpin jemaat lokal selama beberapa tahun. “Saya sudah mengelilingi seluruh Indonesia,” kata pria asli Ambon.

Hidup di lingkungan mayoritas muslim, baginya tak ada masalah. Dirinya tahu bagaimana caranya menjaga toleransi beragama. Ketika umat muslim salat, pihaknya tidak akan mengganggu ketertiban. Dmikian pula ketika umat Kristiani beribadah, umat muslim boleh lewat di depan gereja dengan mematikan mesin motornya atau menuntun motornya. “Itu membuktikan saling menghargai,” kata ketua umum Sinode GKPII.

Dirinya memiliki hubungan baik dengan tokoh masyarakat, para ustad atau kiai. Bahkan, sering bertemu dan saling berkunjung satu sama lain. “Pokoknya kalau saya lagi santai di depan kantor, mereka mampir. Sama saja mereka ada kegiatan, saya ngobrol sebentar. Kita terus membangun kebersamaan, sehingga di sini tidak diragukan lagi kebersamaannya,” ujarnya.

Masyarakat RW 7 Kemijen saling membantu dalam hal ketertiban saat hari raya. Seperti ketika Hari Raya Natal, para pemuda masjid mengawal dan berjaga di depan gereja. “Mereka tetap ada di sini menjaga sepanjang kami beribadah. Sama halnya, ketika Hari Raya Idul Fitri semua membaur. Saya mengajak jemaat gereja saling mengunjungi dan mengucapkan selamat kepada pak kiai,” katanya.

Bahkan ketika Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha berbarengan Hari Raya Natal, semuanya berjalan bersama-sama dengan baik. Selama tujuh tahun menjabat sebagai ketua umum Sinode GKPII, dirinya tidak menemukan konflik di masyarakat apalagi antarumat beragama.

“Kelebihannya di sini kerukunan antarumat beragamanya kuat. Padahal ada lima suku, yakni Batak, Sulawesi, Jawa, Madura, dan Ambon. Namun menjadi satu warga Cilosari Dalam III, Kemijen, Semarang Timur. Bisa dibilang ini miniatur Indonesia yang berprinsip Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.

GKPII di Semarang juga selalu memberikan bakti sosial berupa bingkisan makanan maupun sembako kepada masyarakat sekitar tanpa memandang suku, ras, dan agama. “Kami kasih ke masyarakat di kampung, ke abang-abang becak, yang mengais di tempat sampah,” katanya.

Tahun ini, pihaknya memiliki tema ‘Jadilah Anak-Anak Terang’. Maksudnya, harus menciptakan hal-hal yang membawa terang, otomatis menjauhkan sekeliling dari kegelapan. “Kita harus menyatakan terang kepada orang, menjadi anak-anak terang yang menjadi contoh kehidupan baik kepada orang lain,” katanya. (kap/ifa/mha/fgr/ida)

Reporter:
Khafifah Arini Putri
Ida Fadilah
M Agus Haryanto
Figur Ronggo Wassalim

Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya