RADARSEMARANG.COM – Pengalaman menjadi korban bencana erupsi Merapi pada 1984 silam menggugah hati Trimo untuk turut serta menjadi relawan erupsi Merapi di kemudian hari. Baginya, atas nama kemanusiaan, memberi bantuan kepada orang yang membutuhkan adalah keharusan.
Sehari-hari, Trimo menjabat Kepala Dusun Ketaron, Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Untuk menjadi relawan bencana pun tidak perlu konsep yang muluk-muluk. Cukup sesederhana memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Tidak perlu melihat latar belakang agama, suku, dan apapun yang serba terkotak-kotakkan. Menjadi relawan sesederhana menjadi pembagi sukacita untuk sesama.
Trimo kali pertama menjadi relawan bencana pada 2006. Ketika gempa bumi di Kabupaten Bantul, DIJ.
Empat tahun berselang, ia kembali menjadi relawan ketika Gunung Merapi erupsi. Kebetulan saat itu ia mulai menjadi perangkat desa. Pada 2010 itu pun meninggalkan kenangan berkesan dalam memorinya.
“Dulu saya baru selesai dilantik Pukul 14.00, sorenya langsung dapat kiriman pengungsi. Dadakan. Waktu itu langsung cari bantuan tikar, beras, dan perlengkapan lain-lain,” kenangnya.
Kini, ketika aktivitas Gunung Merapi meningkat, Trimo sudah siap mengulang pengalaman sepuluh tahun silam. Pasalnya, dusunnya kembali menjadi salah satu pos pengungsian. Ihwal kesiapan menampung pengungsi, ia pun belajar dari pengalaman.
Trimo bersinergi bersama aparat kepolisian, pejabat dinas, hingga warga setempat untuk mengurus pengungsi. Mereka bergantian berjaga di posko. Selain itu, ia juga berkomunikasi dengan pihak desa yang akan mengungsi di wilayahnya. “Kami usahakan mereka nyaman di sini,” katanya.
Menjadi relawan membuat Trimo memiliki banyak saudara. Ia juga merasakan arti penting kemanusiaan. Hingga kini, ia memang belum pernah menjadi relawan ke luar daerah. Namun, ia memiliki tekad untuk siap sedia jika bantuannya dibutuhkan di daerahnya.
Menurut Trimo, hal terpenting yang harus dimiliki ketika menjadi relawan adalah harus mau banyak bergerak. Bukan sekadar melaksanakan apa yang sudah tersedia. Namun, harus punya banyak inisiatif dan pandai mencari alternatif.
“Kan nggak bisa selalu mengandalkan apa yang diberikan pemerintah. Terkadang kondisi di lapangan berbeda dengan yang digambarkan di atas. Orang di lapangan yang benar-benar paham,” kata dia.
Selain itu, hal penting lainnya yang harus dipahami adalah bahwa menjadi relawan bukan berati mengedepankan ego. Memberi bantuan kepada orang lain tidak boleh dijadikan nafsu. Kata Trimo, jangan sampai membantu orang lain jika urusan keluarga sendiri belum tuntas. Bagi Trimo, kelurga harus selalu menjadi prioritas.
“Yang terpenting penuhi kewajiban terhadap keluarga dulu. Kalau keluarga sudah, baru orang lain,” ujarnya.
Trimo bersyukur keluarga mendukung apa yang dilakukan. Apalagi ia perangkat desa yang memiliki tanggung jawab lebih daripada warga biasa. Dari pengalamannya bergelut dengan aksi kemanusiaan tersebut, Trimo pun bertekad tetap menjadi relawan meski kelak sudah melepas jabatan sebagai perangkat desa.
“Saya inginnya sih selagi badan masih mampu, saya bisa terus memberi bantuan,” ujar Trimo. “Tapi ya semoga Merapi tetap aman,” harapnya. (cr3/aro)