RADARSEMARANG.COM, DALAM pelajaran Seni Budaya kelas X semester genap, peserta didik mempelajari empat bidang seni, yaitu seni rupa, musik, tari, dan teater. Materi pembelajaran Seni Budaya ini, sebagian besar berisi pembelajaran keterampilan praktik berkarya seni, wawasan apresiasi dan kritik seni, serta pameran dan pergelaran karya seni.
Menurut Sulastianto (2010:148), seni budaya merupakan suatu keahlian mengekspresikan ide-ide dan pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan serta imajinasi pandangan akan benda, suasana, atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah sehingga menciptakan peradaban yang lebih maju. Khusus pada materi seni tari di SMK, pada kompetensi dasar mengreasi karya seni budaya nusantara yang terdapat di materi seni tari.
Kritikus dari Amerika Serikat, yaitu John Martin dalam bukunya yang berjudul “The Modern Dance”, mengemukakan bahwa gerak adalah pengalaman fisik yang paling elementer dari kehidupan manusia (Soedarsono, 1987). Landasan elemen dasar dari tari adalah gerak, gerak yang diterapkan dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan bentuk yang diungkapkan manusia agar dapat dinikmati dengan rasa.
Namun, dalam mata pelajaran seni budaya khususnya seni tari pada kelas X AKL2 SMK Negeri 2 Semarang, penulis mengajarkan seni tari sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Yakni mempraktikkan sesuai dengan pemahaman. Jadi penulis ajarkan keterampilan gerak meskipun tidak menuntut anak mampu (terampil) seperti contoh gerakan. Bila bentuk geraknya sudah jelas, itu sudah cukup. Namun seringkali peserta didik mengalami kesulitan membuat gerakan dengan hitungan.
Sebagai pedoman memeragakan tari dengan hitungan angka 1 sampai 8, yakni masing-masing hitungan terdapat gerakan yang berbeda-beda. Dengan demikian, hitungan digunakan sebagai kontrol gerakan tari. Berkali-kali pebulis coba meminta peserta didik melakukan gerakan tari dengan melakukan hitungan, namun tetap sulit memahami. “Susah sekali bu guru, sudah saya coba, tapi belum bisa saya praktikan,” begitu keluhan yang dilontarkan peserta didik.
Untuk memudahkan peserta didik memahami gerakan tari dengan hitungan, penulis mencoba menggunakan metode pembelajaran Rangsang Dengar (Auditif). Yakni, salah satu tahapan mengembangkan gagasan gerak yang diilhami oleh suara atau bunyi suatu benda atau perbuatan, seperti suara instrumen musik (gendang, seruling, gamelan, dan yang lainnya), suara manusia (nyanyian, puisi, tangisan, dan yang lainnya), suara alam atau lingkungan (gemuruh ombak, angin, kicauan burung, dan yang lainnya). Suara tersebut sering kali menarik dan merangsang dinamis gerak tari. Penulis merangsang peserta didik melakukan gerakan dengan memutarkan lagu-lagu nusantara.
Salah satu lagu nusantara yang merangsang peserta didik adalah lagu yang sifatnya tradisional maupun nontradisional. Lirik dan musiknya menonjolkan ciri khas ke-Indonesia-an. Penulis menggunakan lagu nusantara berjudul “Ampar-Ampar Pisang”. Kemudian penulis meminta peserta didik mengikuti irama lagu dengan gerakan.
Misal saat lirik lagu berbunyi “Ampar-ampar pisang, pisangku belum masak, masak sabigi dihurung bari-bari, masak sabigi dihurung bari-bari.” Maka peserta didik melakukan gerakan tangan melenggang kanan kiri, diikuti kepala dan badan menengok ke belakang ke kanan dan ke kiri.
Itu contoh gerakan tari dengan iringan lagu. Ternyata, setelah dicoba kurang lebih tiga kali, peserta didik langsung bisa menghapal gerakan tari dengan cepat, ketimbang metode hitungan yang sulit dihafal. Bahkan ada yang lebih dari 10 kali, tidak hafal. “Ternyata, lebih asyik dan cepat memahami mengunakan iringan lagu, daripada pakai hitungan bu guru,” begitu kata peserta didik yang bisa menghafal gerakan. Bahkan, dengan menggunakan metode rangsang dengar ini, peserta didik termotivasi menciptakan gerakan tari berikutnya. (*/ida)
Guru Seni Budaya SMK Negeri 2 Semarang