30 C
Semarang
Selasa, 28 November 2023

Pembelajaran Fiqih melalui Jembatan Keledai

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Untuk menciptakan pembelajaran yang aktif, menyenangkan dan menarik diperlukan berbagai teknik, strategi, ataupun metode dalam pembelajaran. Tujuannya agar pembelajaran yang diinginkan akan tercapai dan dapat berjalan lancar.

Pengalaman penulis mengajar fiqih di MAN Kendal terasa lebih mengasyikkan setelah mengenal teknik jembatan keledai. Jembatan keledai (ezelbruggece) awalnya dipopulerkan oleh Tan Malaka sebagai cara untuk memudahkan mengingat sesuatu (wikipedia).

Metode jembatan keledai dengan konsep menyingkat satu kalimat atau konsep-konsep panjang menjadi satu kata kunci dinilai cukup efektif untuk menambah ingatan. Contoh ketika penulis mengajarkan bab Jinayat (pidana dalam Islam) pada kelas XI MAN Kendal. Disebutkan di buku ajar siswa bahwa ada tiga macam pembunuhan dalam fiqih. Yaitu : pembunuhan sengaja, pembunuhan tidak sengaja, dan pembunuhan salah sasaran. Lalu, bagaimana mengingat ketiga hal tersebut secara cepat.

Caranya kita urutkan dulu dari pembunuhan sengaja (PS). Siswa kita minta membayangkan permainan bernama play station (PS). Nah, dengan mengingat PS maka anak pun akan mengingat pembunuhan sengaja.

Berikutnya pembunuhan tidak sengaja (PTS). Awalnya anak memiliki persepsi macam-macam. PTS bisa berarti penilaian tengah semester, perguruan tinggi swasta, atau bisa singkatan yang lain. Nah, ketika siswa melihat atau mendengar kata PTS ingatannya akan sampai pada PTS yang ada di materi fiqih jinayat.

Terakhir adalah pembunuhan salah sasaran (PSS). Penulis sering menyebut PSS sebagai organisasi/klub sepakbola Liga-1 yang ada di tanah air, kepunyaan warga Sleman. Nah dengan menyebut PSS Sleman siswa langsung tanggap dan tahu apa singkatan yang sebenarnya.
Penulis contohkan lagi jembatan keledai pada materi fiqih kelas XII semester gasal. Dalam buku paket diterangkan bahwa sumber hukum Islam itu ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Ketika membahas sumber hukum Islam yang disepakati biasanya saya langsung menulis di whiteboard seperti ini : berkumis = ASIQ. Setelah melihat tulisan di depan, beberapa siswa secara acak ditanya : Kamu percaya nggak kalo berkumis itu asyik (=asiq)? Senang nggak sama laki-laki yang berkumis? Jawaban pun beragam. Beberapa menit kemudian penulis mengeluarkan statement : ‘Siapa pun di kelas ini, yang mengingkari atau tidak meyakini jika berkumis itu asiq silakan keluar dari ruangan’. Karuan saja seisi kelas ternganga dan melongo.

Sejurus kemudian mereka disuruh fokus ke white board. Di bawah tulisan berkumis diberi garis bawah dalam tiga bagian : ber-kum-is. Lalu kata ASIQ juga dipisahkan dari A-S-I-Q. Setelah itu baru dijelaskan. Ber=Sumber; Kum=Hukum; Is=Islam. Kemudian huruf A=Alquran; S=Sunah; I=Ijma’dan Q=Qiyas. Secara lengkap jika digabung akan menjadi : ‘Sumber Hukum Islam = Alquran, Sunah, Ijma’ Qiyas.’

Penulis ketika membuat kunci jawaban untuk soal matching (menjodohkan) juga menyertakan jembatan keledai. Jumlah soal cukup tujuh nomor dan pilihan jawabannya berupa huruf. Hanya, jumlah jawabannya dilebihkan sebagai penyesat. Ketika mengoreksi, cukup mengingat kunci jawabannya secara urut seperti ini : G-D-A-E-B-F-C (G=Gado-gado; D=Dimakan; A=Amat; E=Enak; B=Banyak; F=Fitamin; C). Bisa juga dengan versi lain : F-B-E-A-D-G-C (F=Festival; B=Bulutangkis; E=Eropa; A=Asia; D=Dimenangkan; G=Grup; C=China ).

Bagaimanapun, kitalah yang bisa menciptakan pembelajaran yang menarik dan disenangi. Dikenang murid bahkan alumninya. Masing-masing orang bisa menemukan cara yang lebih baik lagi dalam upaya menciptakan rasa senang dan kemudahan bagi murid-muridnya. (pgn1/lis)

Guru Fiqih MAN Kendal


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya