Oleh : Bayu Dwi Jadmika, S.Kom
RADARSEMARANG.COM, Tanggal 2 Februari 2018 yang lalu, beranda media sosial (medsos) dan media online dipenuhi berita meninggalnya Ahmad Budi Cahyono, guru Seni di SMAN 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Madura. Ia meninggal setelah sehari sebelumnya dipukul siswanya sendiri, Moh Holili. Facebook, Instagram, Twitter dan media berita online penuh dengan berita serupa. Pengguna sosmed juga ikut serta membagikan berita tersebut, ditujukan ke pribadi maupun ke komunitas/grup.
Dalam sekejap menjadi viral.Menjadi trending topic. Tak sedikit yang memberikan respon kesedihan dan dukungan kepada istri Pak Budi yang sedang hamil.Banyak juga yang menyayangkan hal tersebut terjadi didunia pendidikan.Namun respon netizen hampir semuanya berisi hujatan, cacian, makian dan kecaman terhadap pelaku.
Berita online mediaindonesia.com Selasa, 6 Maret 2018 memberitakan Moh Holili divonis 6 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan dalam pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan.
Berita tersebut kembali beredar luas.Respon netizenpun beragam.Ada yang puas, cukup puas dan banyak yang menganggap tidak mencerminkan rasa keadilan.Meskipun perlu ditanyakan, keadilan menurut siapa? Menurut keluarga korban, keluarga pelaku atau kebanyakan orang dan pembaca.
Peristiwa tragis yang menimpa Pak Budi patut menjadi perenungan kita bersama terutama para pendidik.Benarkah Moh Holili murni sebagai pelaku kejahatan?Dalam melakukan kejahatannya tentu benar sebagai pelaku karena hakimpun sudah menjatuhkan vonis.
Bagaimana kalau Moh Holili adalah pelaku kejahatan karena menjadi korban?Korban kurangnya perhatian dan kasih sayang dari keluarga.Korban dari kurangnya kepedulian tetangga dan lingkungannya.Korban dari kurangnya perhatian para guru di sekolahnya.Korban dari kursus beladiri yang tidak menyentuh esensi dari beladiri.Korban dari tidak diterimanya pendidikan karakter (akhlak) dari keluarga dan atau lingkungan sekitar.
Istilah umum untuk Moh Halili adalah anak nakal.Secara sederhana, dalam tulisan ini, saya mendefinisikan anak nakal adalah anak yang terbiasa melanggar aturan/norma/kesepakatan/tata tertib baik itu di rumah, lingkungan maupun di sekolah.Apa yang dilakukan oleh Moh Halili dan beberapa anak yang saya sebut sebagai contoh, berkaitan erat dengan apa yang disebut dengan karakter.
Sebenarnya ada hal yang lebih penting untuk dijawab.Siapa yang bertanggung jawab mendidik karakter anak?
Darisudut pandang pengertian, karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yangsignifikan.Keduanya merupakan suatu tindakan atau reaksi terhadap situasi yang terjadi tanpa perlu pemikiran dan menimbang rasa karena sudah tertanam dalam pikiran dan perasaan.Reaksi tersebut bersifat konsisten karena terbentuk dan berakar dalam diri sesorang dan permanen.Maka tidak salah apabila karakter atau akhlak merupakan personal value,yang membedakan satu individu dengan individu lainnya.
Nilai diri tersebut harus ditanam sejak anak mulai belajar berinteraksi dengan orang lain dan dipelihara dengan baikoleh orang-orang terdekatnya agar tumbuh dengan baik pula.Hidayatullah dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika menjelaskan bahwa strategi dalam mendidik karakter dapat dilakukan melalui berbagai sikap. Yakni keteladanan, penanaman kedisiplinan, pembiasaan, menciptakan suasana yang konduksif, dan integrasi serta internalisasi.
Mengapa ada anak/siswa yang melanggar tata tertib sekolah?Tanyakan lagi bagaimana pola pendidikan karakter yang dilakukan oleh keluarga itu.Bagaimana lingkungan bermain dan lingkungan sekolahnya?
Pendidikan karakter tidak perlu dipermasalahkan.Mendidik karakterlah yang harus diperhatikan dan ditekankan.Masing-masing dari kita mempunyai peran dalam bidang masing-masing untuk turut serta mendidik karakter para tunas-tunas muda bangsa ini agar memiliki akhlak atau karakter yang baik. (*/lis)
Guru SMK Negeri 2 Temanggung